A. PENDAHULUAN
Teori belajar
merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga
membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori
belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Pada
dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada
varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat dimasukkan dengan jelas
termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri. Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang
lebih penting untuk kita pahami adalah teori
mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang
sesuai untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran.
B. BEHAVIORISME
Behaviorisme dari
kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme
merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan
awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah.
Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Dalam melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi,
karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman
terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang,
bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri
orang tersebut. Fokus behaviorisme adalah
respons terhadap berbagai tipe stimulus. Para tokoh yang memberikan
pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov dengan teorinya yang disebut
classical conditioning, John B. Watson yang dijuluki behavioris S-R
(Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law of Efect), dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut
operant conditioning
1.
Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov adalah
orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning di dekade 1890-an. Namun
karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat, bukunya dalam edisi
bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological Activity
of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut
klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula yang
menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk
membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.
a.
Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau
Classical conditioning ditemukan secara kebetulan oleh Pavlov di dekade
1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur membantu proses
pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing eksperimen dan
mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan. Setelah
anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai
mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa
beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah
diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons
keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya
mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin
mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi
lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam
mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan
air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan
lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi lonceng
tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing
tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang
asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya
menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah
belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi
stimulus dengan pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons
dengan pengkondisian
b.
Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya
sebelumnya, Pavlov dan berhasil mengidentifikasi empat proses: acquisition
(akuisisi /fase dengan pengkondisian), extinction (eliminasi /fase tanpa
pengkondisian), generalization (generalisasi), dan discrimination
(diskriminasi).
1)
Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase
belajar permulaan dari respons kondisi sebagai contoh, anjing ‘belajar’
mengeluarkan air liur pengkondisian suara lonceng. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor yang paling
penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat
ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan)
dengan selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama
dan respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara
pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi
mengikuti stimulus utama-sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum
lonceng berbunyi -- conditioning jarang terjadi.
2)
Fase Eliminasi
Sekali telah dipelajari, suatu
respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara permanen. Istilah extinction
(eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons kondisi dengan
mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor anjing telah
‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat
secara berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang
bunyi lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya.
3)
Generalisasi
Setelah seekor hewan telah
‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada kemungkinan juga ia
merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang anak digigit
oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepadaanjing
tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut
generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang
kurang intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang
terhadap anjing yang lebih kecil.
4)
Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi
adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu belajar menghasilkan respons
kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang sama namun kondisinya
berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons takut pada anjing
galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor
anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.
2.
Teori Stimulus-Respons John Watson
Pada tahun 1919, pakar
psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya Psychology from the
Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam pakar
psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada
atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri.
Watson berprinsip hanya
menggunakan eksperimen sebagai metode untuk mempelajari kesadaran. Watson
mempelajari penyesuaian organisme terhadap lingkungannya, khususnya stimuli
khusus yang menyebabkan organisme tersebut memberikan respons. Kebanyakan dari
karya-karya Watson adalah komparatif yaitu membandingkan perilaku berbagai
binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya Ivan Pavlov. Namun pendekatan
Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam menghasilkan respons karena
pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari
refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R
(stimulus-response).
a.
Percobaan John Watson
Pada dasarnya Watson
melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson ingin menerapkan classical
conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas keyakinannya bahwa
personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang
kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten risetnya Rosalie Rayner
melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal
eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang
tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita
menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap
tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap
tikus.
b.
Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen Watson dan
rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya
bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak
menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman yang
tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga
menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia
(rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap
objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang
dapat memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons
emosional—seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena
orang tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang
memiliki pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar
merasakan kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi
seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak
surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul kemungkinan
menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan
prosedur classical conditioning untuk merawat fobia (rasa takut) dan perilaku
yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol dan psikotropika. Untuk
merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi melakukan terapi
dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur
dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase
eliminasi (eliminasi stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya
terhadap objek tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk alkohol, penderita
meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut
sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung
begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan
dari terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan
problematika yang dihadapinya.
3.
Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward
Thorndike
Edward Lee Thorndike adalah
pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia University AS. Dalam bukunya
Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka pada pendapat bahwa hewan
memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa hewan juga
memiliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan untuk mendukung
gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal munculnya operant
conditioning (pengkondisian yang disadari).
Prinsip yang dikembangkannya
disebut hukum efek karena adanya konsekuensi atau efek dari suatu perilaku.
Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk menunjukkan adanya koneksi
(keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang disadari.
a.
Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike
termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk melihat bagaimana
hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil yang ia
sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons yang benar
(seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan terbuka
dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar
kotak.
Ketika pertama kali hewan
memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama untuk dapat memberi respons
yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian, pada akhirnya hewan
tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan
makanan
Ketika Thorndike
memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara berulang-ulang, hewan
tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat. Dalam waktu singkat,
hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk lolos dan
mendapatkan hadiah.
b.
Kesimpulan Thorndike
Thorndike menggunakan kurva
waktu belajar tersebut untuk membuktikan bahwa hewan tersebut bukan menggunakan
nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari kotak, namun melalui
proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai benar).
Thorndike menjelaskan ada
perbedaan yang jelas apakah hewan dalam eksperimen tersebut agar dapat lolos
dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya yaitu dengan mencatat waktu
yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan
naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya
tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang signifikan.
Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error dengan
bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan dapat
'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya,
Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum efek. Hukum ini menyatakan
bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan, lebih cenderung akan
terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang diikuti kejadian yang
tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung tidak terjadi lagi di
masa mendatang.
Thorndike menginterpretasikan
temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan bahwa keterkaitan antara kotak
dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk lolos 'diperkuat setiap kali
berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang menyebut hukum efek
Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner dikembangkan lagi
menjadi operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
4.
Pengkondisian Disadari B.F. Skinner
Burrhus Frederic "B.
F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan. Bercita-cita
menjadi seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis.
Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut.
Pada suatu saat secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang
behaviorismenya Watson. Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut,
sehingga ia memutuskan untuk belajar Psikologi di Harvard University (AS) dan
memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua
universitas, Ia kembali mengajar di almamaternya hingga menjadi profesor di
tahun 1948.
Skinner menjadi terkenal
karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar dan perilaku. Selama 60
tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting dari operant
conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman. Sebagai
seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat
menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada
kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi istilah operant
conditioning.
Terkenalnya Skinner bukan
hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga pengakuan kontroversialnya bahwa
prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan menggunakan kotaknya juga dapat
diterapkan untuk perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
a.
Percobaan Skinner
Diawali di tahun 1930-an,
Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa mempelajari perilaku—kebanyakan
tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang kemudian disebut kotak Skinner.
Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner berupa ruangan kosong tempat
hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan respons sederhana, seperti
menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di dalam kotak merekam
semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda dengan kotak
teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang
diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari kotak; (2)
persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga
penguat hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant response (respons
yang disadari) membutuhkan upaya yang ringan,
sehingga seekor hewan dapat melakukan respons ratusan bahkan ribuan kali per
jamnya. Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat mengumpulkan lebih banyak
data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola pemberian makanan
mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.
b.
Prinsip-prinsip Operant Conditioning
Selama lebih 60 tahun dari
karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari operant
conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru atau
mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah reinforcement
(penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan), extinction
(penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).
1)
Penguatan
Reinforcement (penguatan)
berarti proses yang memperkuat perilaku—yaitu, memperbesar kesempatan supaya
perilaku tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori umum reinforcement, yaitu
positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner menggambarkan
reinforcement positif, suatu metode memperkuat perilaku dengan menyertaikan
stimulus yang menyenangkan. Reinforcement positif merupakan metode yang efektif
dalam mengendalikan perilaku baik hewan maupun manusia. Untuk manusia, penguat
positif meliputi item-item mendasar seperti makanan, minuman, seks, dan
kenyamanan yang bersifat fisikal. Penguat positif lain meliputi kepemilikan
materi, uang, persahabatan, cinta, pujian, penghargaan, perhatian, dan
sukses karir seseorang.
Bergantung pada situasi
dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat perilaku baik yang diinginkan
maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak kemungkinan mau bekerja keras di rumah
maupun di sekolah karena penghargaan yang mereka terima dari orang tua maupun
gurunya karena unjuk kerjanya yang bagus. Namun demikian, mereka mungkin juga
mengganggu kelas, mencoba melakukan hal-hal yang berbahaya, atau mulai merokok
karena perilaku-perilaku tersebut mengarahkan perhatian dan penerimaan dari
kelompok sebayanya. Salah satu penguat yang paling umum untuk perilaku manusia
adalah uang. Banyak orang dewasa menghabiskan waktunya selama berjam-jam untuk
pekerjaan mereka karena imbalan upah. Untuk individu tertentu, uangdapat juga
menjadi penguat untuk perilaku yang tidak diinginkan, seperti perampokan,
penjualan obat bius, dan penggelapan pajak.
Reinforcement negatif
merupakan suatu cara untuk memperkuat suatu perilaku melalui cara menyertainya
dengan menghilangkan atau meniadakan stimulus yang tidak menyenangkan. Ada dua
tipe reinforcement negatif: mengatasi dan menghindari. Di dalam tipe pertama
(mengatasi), seseorang melakukan perilaku khusus mengarah pada
menghilangkan stimulus yang tidak mengenakkan. Sebagai
contoh, jika seseorang dengan sakit kepala mencoba obat jenis baru pengurang
rasa sakit dan sakit kepalanya dengan cepat hilang, orang ini kemungkinan akan
menggunakan obat itu lagi ketika terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe kedua
(menghindari), seseorang melakukan suatu perilaku menghindari akibat yang tidak
menyenangkan. Sebagai contoh, pengemudi kemungkinan mengambil jalur tepi jalan
raya untuk menghindari tabrakan beruntun, pengusaha membayar pajak untuk
menghindari denda dan hukuman, dan siswa mengerjakan pekerjaan rumahnya
untuk menghindari nilai buruk
2)
Hukuman
Apabila reinforcement
memperkuat perilaku, hukuman memperlemah, mengurangi peluangnya terjadi lagi di
masa depan. Sama halnya dengan reinforcement, ada dua macam hukuman, positif
dan negatif.
Hukuman yang positif meliputi
mengurangi perilaku dengan memberikan stimulus yang tidak menyenangkan jika
perilaku itu terjadi. Orang tua menggunakan hukuman positif ketika mereka
memukul, memarahi, atau meneriaki anak karena perilaku yang buruk. Masyarakat
menggunakan hukuman positif ketika mereka menahan atau memenjarakan seseorang
yang melanggar hukum.
Hukuman negatif atau disebut
juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku dengan menghilangkan stimulus yang
menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang tua yang membatasi gerakan
anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena perbuatan anaknya yang
buruk merupakan contoh hukuman negatif.
Kontroversi yang besar terjadi
manakala membicarakan apakah hukuman merupakan cara yang efektif dalam mengurangi
atau meniadakan perilaku yang tidak diinginkan. Eksperimen dalam laboratorium
yang sangat hati-hati membuktikan bahwa, ketika hukuman digunakan dengan
bijaksana, ternyata menjadi metode yang efektif dalam mengurangi perilaku yang
tidak diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki beberapa kelemahan. Ketika
seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi marah, agresif, atau
reaksi emosional negatif lainnya. Mereka mungkin menyembunyikan bukti-bukti
perilaku salah mereka atau melarikan diri dari situasi buruknya, seperti halnya
ketika seorang anak lari dari rumahnya. Lagi pula, hukuman mungkin
mengeliminasi perilaku yang dikehendaki bersamaan dengan hilangnya perilaku
yang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, seorang anak yang dipukul karena membuat
kesalahan di depan kelas kemungkinan tidak berani lagi tunjuk jari. Karena
alasan ini dan beberapa alasan lainnya, banyak pakar psikologi yang
merekomendasikan bahwa hukuman hanya boleh dilakukan untuk mengontrol perilaku
ketika tidak ada alternatif lain yang lebih realistis.
3)
Pembentukan
Pembentukan
merupakan teknik penguatan yang digunakan
untuk mengajar perilaku hewan atau manusia yang belum pernah mereka
lakukan sebelumnya. Dalam cara ini, guru memulainya dengan penguatan kembali suatu
respons yang dapat dilakukan oleh pembelajar dengan mudah, dan secara
berangsur-angsur ditambah tingkat kesulitan respons yang dibutuhkan. Sebagai
contoh, mengajar seekor tikus menekan tuas yang terletak di atas kepalanya,
pelatihnya dapat pertama-tama memberikan hadiah pada gerakan kepala apapun ke
arah atas, kemudian gerakan ke arah atas 2,5 cm, dan seterusnya, sampai gerakan
tersebut mampu menekan tuas.
Pakar psikologi telah
menggunakan shaping (pembentukan) ini untuk mengajarkan kemampuan berbicara
pada anak-anak dengan keterbelakangan mental yang parah dengan
pertama-tama memberikan hadiah pada suara
apa pun yang mereka keluarkan, dan kemudian secara berangsur
menuntut suara yang semakin menyerupai kata-kata dari gurunya. Pelatih binatang
di dalam sirkus dan kebun binatang menggunakan shaping ini untuk mengajar gajah
berdiri dengan hanya bertumpu pada kaki belakangnya saja, harimau berjalan di
atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang berputar ke arah belakang, dan
paus pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui lingkaran.
4)
Eliminasi Penguatan
Sebagaimana dalam classical
conditioning, respons yang dipelajari di dalam operant conditioning
tidak selalu permanen. Di dalam operant conditioning, extinction (eliminasi
kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang dipelajari dengan menghentikan
penguat dari perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah belajar menekan tuas
karena dengan melakukan ini hewan tersebut menerima makanan, tingkat
penekanannya pada tuas akan berkurang dan pada akhirnya berhenti sama sekali
jika makanan tidak lagi diberikan. Pada manusia, menarik kembali penguat akan
menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang tua
seringkali memberikan reinforcement negatif sifat marah anak-anak muda dengan
memberinya perhatian. Jika orang tua mengabaikan saja kemarahan anak-anak
dengan lebih memberikannya hadiah berupa perhatian tersebut, frekuensi
kemarahan dari anak-anak tersebut seharusnya secara berangsur-angsur akan
berkurang.
5)
Generalisasi dan Diskriminasi
Generalisasi dan diskriminasi
yang terjadi di dalam operant conditioning nyaris sama dengan yang terjadi di
dalam classical conditioning. Dalam generalisasi, seseorang suatu perilaku yang
telah dipelajari dalam suatu situasi dilakukan dalam kesempatan lain namun
situasinya sama. Sebagai misal, seseorang yang diberi hadiah dengan tertawa
atas ceritanya yang lucu di suatu bar akan mengulang cerita yang sama di
retoran, pesta, atau resepsi pernikahan. Diskriminasi merupakan proses belajar
bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam suatu situasi namun tidak dalam
situasi lain. Seseorang akan belajar bahwa menceritakan
leluconnya di dalam gereja atau dalam
situasi bisnis yang memerlukan keseriusan tidak akan membuat orang
tertawa. Stimuli diskriminatif memberikan peringatan bahwa suatu perilaku
sepertinya diperkuat negatif. Orang tersebut akan belajar menceritakan
leluconnya hanya ketika ia berada pada situasi yang riuh dan banyak orang
(stimulus diskriminatif). Belajar ketika perilaku akan dan tidak akan diperkuat
merupakan bagian penting dari operant conditioning.
c.
Penerapan Operant Conditioning
Operant conditioning memiliki
manfaat praktis di dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dapat
memperkuat perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan hukuman pada
perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik generalisasi
dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
situasi-situasi tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik
yang bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Perusahaan menggunakan
hadiah untuk memperbaiki kehadiran, produktivitas, dan keselamatan kerja bagi
para pekerjanya.
Pakar psikologi yang disebut
terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar operant conditioning
untuk merawat anak-anak atau orang dewasa
yang memiliki kelainan pakar psikologiis ataupun masalah perilaku.
Terapis perilaku ini menggunakan teknik shaping untuk mengajar keterampilan
bekerja pada orang-orang dewasa yang mengalami keterbelakangan mental. Mereka
menggunakan teknik reinforcement untuk mengajar keterampilan merawat diri
sendiri pada orang-orang yang menderita sakit mental yang parah, dan
menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk mengurangi perilaku
agresif dan antisosial dari orang-orang tersebut. Pakar psikologi juga
menggunakan teknik operant conditioning untuk merawat kecenderungan bunuh
diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan,
kecanduan obat terlarang, perilaku konsumtif, kelainan perilaku dalam
makan, dan masalah lainnya.
C. KOGNITIVISME
Menjelang
berakhirnya tahun 1950-an banyak muncul kritik terhadap
behaviorisme. Banyak keterbatasan dari
behaviorisme dalam menjelaskan berbagai masalah
yang berkaitan dengan belajar. Banyak pakar
psikologi waktu itu yang berpendapat behaviorisme terlalu
fokus pada respons dari suatu stimulus dan perubahan perilaku yang dapat
diamati.
Kognitivis mengalihkan
perhatiannya pada “otak”. Mereka berpendapat bagaimana manusia memproses dan
menyimpan informasi sangat penting dalam proses belajar. Akhirnya proposisi
(gagasan awal) inilah yang menjadi fokus baru mereka. Kognitivisme tidak
seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun
lebih cenderung perluasannya, khususnya pada gagasan eksistensi keadaan mental
yang bisa mempengaruhi proses belajar. Pakar psikologi kognitif modern
berpendapat bahwa belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk
memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Mereka
meneliti bagaimana manusia memproses informasi dan membentuk representasi
mental dari orang lain, objek, dan kejadian.
1.
Percobaan Tollman
Sesungguhnya, pada tahun 1930
pakar psikologi AS Edward C. Tolman sudah meneliti proses kognitif dalam
belajar dengan penelitian eksperimen bagaimana tikus belajar mencari jalan
melintasi maze (teka-teki berupa jalan yang ruwet). Ia menemukan
bukti bahwa tikus-tikus percobaannya membentuk “peta kognitif” (atau peta
mental) bahkan pada awal eksperimen, namun tidak menampakakan hasil belajarnya
sampai mereka menerima penguatan untuk menyelesaikan
jalannya melintasi maze—suatu fenomena yang disebutnya latent
learning atau belajar latent. Eksperimen Tolman menunjukkan bahwa
belajar adalah lebih dari sekedar memperkuat respons melalui penguatan.
2.
Jerome Bruner
Jerome Bruner adalah guru
besar di dua universitas terkemuka dunia yaitu
Harvard (AS) dan Oxford (Inggris). Yatim di usia 12 tahun dan keluarga yang
sering pindah tidak menghalanginya untuk berprestasi. Bruner memiliki peran
besar dalam perubahan arus utama psikologi dari behaviorisme ke kognitivisme
pada dekade 1950-an dan 1960-an. Karya pentingnya yang secara eksplisit
mengawali kognitivisme diterbitkan tahun 1956, A Study in Thinking. Dalam
bukunya tersebut Bruner mendefinisikan proses kognitif sebagai “alat bagi
organisme untuk memperoleh, menyimpan, dan mentransformasi informasi.” Bruner
juga pelopor utama konstruktivisme.
Gagasan utama Bruner
didasarkan kategorisasi. "Memahami adalah kategorisasi,
konseptualisasi adalah kategorisasi, belajar adalah
membentuk kategori-kategori, membuat keputusan adalah kategorisasi."
Bruner berpendapat bahwa orang menginterpretasikan dunia melalui persamaannya
dan perbedaannya. Sebagaimana halnya Taksonomi Bloom, Bruner berpendapat
tentang adanya suatu sistem pengkodean di mana orang membentuk susunan
hierarkhis dari kategori-kategori yang saling berhubungan. Gagasannya yang
disebut instructional scaffolding (dukungan dalam pembelajaran) ini
berupa hierarkhi kategori berjenjang di mana semakin tinggi semakin spesifik,
menyerupai gagasan Benjamin Bloom tentang perolehan pengetahuan.
Bruner mengemukakan ada dua
mode utama dalam berpikir: naratif dan paradigmatik. Dalam berpikir naratif,
pikiran fokus pada berpikir yang sekuensial, berorientasi pada kegiatan, dan dorongan
berpikir secara rinci. Dalam berpikir paradigmatik, pikiran melampaui
kekhususan sehingga memperoleh pengetahuan yang sistematis dan kategoris. Pada
mode pertama, proses berpikir seperti halnya cerita atau drama. Pada mode
kedua, berpikir secara berstruktur seperti halnya menghubungkan berbagai
gagasan mendasar dengan cara yang logis.
Dalam penelitiannya terhadap
perkembangan anak (1966), Bruner menelorkan gagasan tentang tiga mode
representasi: representasi enactive (berbasis tindakan), representasi
iconic (berbasis gambaran), dan representasi simbolik (berbasis bahasa).
Semua representasi mode tersebut tidak bisa dijelaskan sebagai jenjang yang
terpisah, namun terintegrasi dan hanya terpisah secara sekuensial selagi
"diterjemahkan" satu sama lain. Representasi simbolik menjadi
mode terakhir, karena yang paling misterius dari ketiganya. Teori Bruner
berpendapat adalah produktif ketika menghadapi materi baru dengan mengikuti
representasi secara progressif dari enactive ke iconic baru ke simbolik; bahkan
hal ini juga berlaku bagi pembelajar dewasa. Untuk para perancang kegiatan
pembelajaran, karya Bruner tersebut juga berpendapat bahwa seorang pembelajar
bahkan ketika masih belia sudah mampu mempelajari materi dalam waktu lama
apabila materi tersebut diorganisasi secara baik. Pendaapat ini sangat berbeda
dengan teori Piaget dan teoris tentang tahapan perkembangan yang lain.
3.
Teori Noam Chomsky dalam Belajar Bahasa
Avram Noam
Chomsky adalah profesor emeritus bidang
linguistik di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia
mengawali revolusi kognitif dalam psikologi di tahun 1959 dengan menulis
"A Review of B. F. Skinner's Verbal Behavior" di jurnal Language.
Buku Skinner yang direview Chomsky berjudul Verbal behavior tersebut terbit
tahun 1957.
Chomsky menganggap terjadi
kesalahan dalam bagian tulisan Skinner tentang perkembangan bahasa seseorang.
Chomsky mengemukakan bahwa anak-anak di seluruh dunia mulai belajar berbicara
rata-rata pada usia yang sama dan berkembang melalaui tahapan-tahapan yang
rata-rata sama pula meskipun tanpa secara eksplisit diajar atau diberi
hadiah untuk upayanya tersebut. Menurut Chomsky, kapasitas manusia untuk
belajar bahasa adalah bawaan. Ia memiliki
teori bahwa otak manusia memiliki “hardware” untuk
bahasa sebagai hasil dari evolusi. Dengan menunjuk fungsi vital disposisi
biologis dalam perkembangan bahasa, teori Chomsky memukul secara telak asumsi
behavioris bahwa semua perilaku manusia dibentuk dan dipertahankan melalui
reinforcement (penguatan).
Dalam meneliti
belajar bahasa, Chomsky fokus pada pertanyaan-pertanyaan tentang cara
kerja dan perkembangan struktur internal bawaan untuk sintaksis yang mampu
secara kreatif mengorganisasi, menyatukan, menyesuaikan, dan mengkombinasikan
kata-kata dan frase-frase menjadi tutur yang dapat dipahami.
Dalam reviewnya Chomsky
menekankan bahwa penerapan ilmiah prinsip-prinsip behaviorisme dari penelitian
terhadap hewan sangat kurang memadai dalam memberikan penjelasan tentang
perilaku verbal manusia karena teori tersebut membatasi diri terhadap kondisi
eksternal. Meneliti "apa yang dipelajari" saja tidak memadai untuk
menjelaskan tata bahasa generatif. Chomsky menekankan contoh-contoh perolehan
bahasa yang cepat oleh anak-anak, termasuk cepat berkembangnya kemampuan untuk
membentuk kalimat yang sesuai tata bahasa.
Chomsky memiliki prinsip bahwa
untuk memahami perilaku verbal manusia seperti aspek-aspek kreatif dari
penggunaan dan pengembangan bahasa, seseorang harus pertama-tama menerima
postulat (dalil) adanya genetika yang membawa kemampuan linguistik.
4.
Teori Piaget
Piaget profesor
psikologi di Universitas Jenewa, Swiss. Teorinya
tentang perkembangan kognitif anak (dibahas pada bab tersendiri) merupakan
salah satu tonggak munculnya kognitivisme. Perkembangan kognitif merupakan
pertumbuhan logika berpikir dari bayi sampai dewasa.
Piaget memiliki
asumsi dasar kecerdasan manusia dan biologi
organisme berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya adalah sistem terorganisasi
yang secara konstan berinteraksi dengan lingkungan.
Pengetahuan merupakan
interaksi antara individu dengan lingkungan. Outcome dari perkembangan kognitif
adalah konstruksi dari schema kegiatan, operasi konkret dan operasi formal.
Komponen perkembangan kognitif adalah asimilasi dan akomodasi, yang diatur
secara seimbang. Memfasilitasi berpikir logis melalui ekperimentasi dengan
objek nyata, yang didukung boleh interaksi antara peer dan guru. (Schema
adalah struktur terorganisasi yang merefleksikan pengetahuan, pengalaman, dan
harapan dari individu terhadap berbagai aspek dunia nyata). Sebagaimana Bruner,
Piaget juga memelopori lahirnya konstruktivisme.
5.
Teori Vygotsky
Lev Vygotsky adalah pakar
psikologi lulusan Insitut Psikologi Moskow, Uni Soviet (sekarang Rusia).
Meninggal pada tahun 1930-an di usia relatif muda (40 tahun) karena penyakit
TBC, ia meninggalkan banyak karya yang banyak dieksplorasi orang hingga kini.
Dalam masa karir akademiknya
yang singkat, Vygotsky aktif di sejumlah bidang akademik, termasuk analisis
psikologis dalam seni dan cerita rakyat; psikologi anak yang meliputi
masalah anak-anak tuna rungu dan tuna grahita; dan analisis psikologis untuk
orang dewasa penderita kerusakan otak. Karya
utamanya antara lain Thought and Language (1937),
Selected Psychological Studies (1956), dan Development of the Higher Mental
Processes (1960).
Karyanya dalam bidang
perkembangan bahasa dan linguistik didasarkan atas hipotesisnya bahwa proses
kognitif tingkat tinggi merupakan hasil dari perkembangan sosial. Semula
penganut teori Pavlov, Vygotsky berbalik
menentangnya karena ia berpendapat bahwa stimulus dan respons saja
tidak cukup untuk menjelaskan tentang realitas aktivitas manusia. Aktivitas
yang dilakukan manusia membutuhkan 'mediator' ekstra melalui alat atau bahasa.
Dengan menggunakan alat kita dapat melakukan kegiatan di lingkungan fisik dan
dengan bahasa kita dapat melakukan kegiatan di lingkungan konseptual dan sosial
sehingga dapat melakukan perubahan. Dengan demikian Vygotsky membedakan secara
fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga
berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih
belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa
mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.
Dari awal risetnya tentang
aturan dan perilaku tentang perkembangan penggunaan alat dan penggunaan tanda,
Vygotsky berpaling ke proses simbolik dalam bahasa. Ia fokus pada struktur
semantik dari kata-kata dan cara bagaaimana arti kata-kata berubah dari
emosional ke konkret sebelum menjadi lebih abstrak.
Karya-karya
Vygotsky antara 1920-1930 memberikan penekanan bagaimana
interaksi anak-anak dengan orang dewasa berkontribusi dalam pengembangan
berbagai keterampilan. Menurut Vygotsky, orang dewasa yang
sensitif akan peduli terhadap kesiapan anak untuk tantangan baru,
sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang cocok untuk mengembangkan
keterampilan baru. Orang dewasa berperan sebagai mentor Vygotsky yang berarti
suatu zone perkembangan di mana anak tidak mampu melakukan suatu kegiatan
belajar tanpa bantuan namun dapat melakukannya secara baik di bawah bimbingan
orang dewasa. Orang tua mungkin bisa mengajar konsep-konsep angka yang
sederhana, sebagai misal, dengan menghitung
manik-manik bersama anak atau menghitung mengukur bahan-bahan
ketika memasak dengan menggunakan takaran. Ketika anak-anak berpartisipasi
dalam kegiatan sehari-hari seperti ini dengan orang tua, guru, dan orang lain,
mereka akan secara bertahap mempelajari praktik buadaya, nilai-nilai,
ketrampilan.
D. TEORI HUMANISME “KEKUATAN KETIGA”
Dihadapkan pada
dua pilihan antara behaviorisme dan
psikoanalisis yang termasuk kognitivisme banyak pakar
psikologi di era tahun 1950-an dan 1960-an yang memilih ke alternatif konsepsi
psikologis sifat dasar manusia. Freud telah memusatkan perhatian pada
kekuatan sisi gelap ketidaksadaran, dan Skinner hanya tertarik pada
pengaruh penguatan dari perilaku yang dapat diamati. Lahirlah Psikologi
Humanistik untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang kesadaran pikiran,
kebebasan kemauan, martabat manusia, kemampuan untuk berkembang dan kapasitas
refleksi diri. Karena menjadi alternatif terhadap behaviorismedan kognitivisme,
Psikologi humanistik atau humanisme menjadi lebih terkenal sebagai “kekuatan
ketiga.”
Humanisme dipelopori oleh
pakar psikologi Carl Rogers dan Abraham Maslow. Menurut Rogers, semua manusia
yang lahir sudah membawa dorongan untuk meraih sepenuhnya apa yang diinginkan dan
berperilaku dalam cara yang konsisten menurut diri mereka sendiri. Rogers,
seorang psikoterapis, mengembangkan person-centered therapy, suatu pendekatan
yang tidak bersifat menilai ataupun tidak memberi arahan yang membantu klien
mengklarifikasi dirinya tentang siapa dirinya sebagai suatu upaya
fasilitasi proses memperbaiki kondisinya. Hampir pada saat yang
bersamaan, Maslow mengemukakan teorinya bahwa semua
orang memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya
yang bersifat hierarkhis. Pada bagian paling bawah dari hirarkhi ini adalah
kebutuhan-kebutuhan fisikal seperti rasa lapar, haus, dan mengantuk. Di atasnya
adalah kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, dan
kepercayaan diri yang berkaitan dengan kebutuhan akan status dan pencapaian.
Ketika berbagai kebutuhan ini terpenuhi, Maslow yakin, orang akan meraih
aktualisasi diri, suatu puncak pemenuhan kebutuhan dari seseorang. Sebagaimana
kata Maslow, “Seorang musisi haruslah mencipta lagu, seorang pelukis harus
melukis, seorang penyair harus menulis puisi, jika ia ingin damai dengan
dirinya. Apa yang ia mampu lakukan, ia harus lakukan.” Gagasan lain dari
humanisme dapat diringkas sebagai berikut:
1.
Setiap orang memiliki kapasitas untuk
berkembang.
2.
Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih
tujuan hidupnya.
3.
Humanisme menekankan pentingnya kualitas hidup
manusia.
4.
Setiap orang memiliki kemampuan untuk
memperbaiki kehidupannya.
5.
Persepsi pribadi seseorang terhadap dirinya
sendiri lebih penting dari lingkungan.
6.
Setiap orang memiliki potensi untuk memahami
dirinya sendiri.
7.
Setiap orang seharusnya memberikan dukungan pada
orang lain sehingga semua memiliki citra diri yang positif serta pemahaman diri
yang baik.
8.
Carl Rogers menekankan pentingnya
suasana lingkungan yang hangat dan bisa menjadi terapi.
9.
Abraham Maslow berpendapat bahwa potensi kita
sesunggahnya tidak terbatas.
10. Terjadinya kebersamaan disebabkan adanya persepsi positif satu sama lain.
11. Rogers berpendapat bahwa seseorang akan tidak mempercayai hal-hal
positif dari dirinya dan rasa percaya dirinya rendah bila ada anggapan positif
orang lain namun bersyarat.
12. Konsep-diri adalah bagaimana seseorang mengenal
potensinya, perilakunya, dan kepribadiannya.
13. Realita adalah bagaimana sesungguhnya diri seseorang sedangkan idealisme
adalah bagaimana seseorang menginginkan dirinya menjadi apa.
14. Anggapan positif tanpa syarat, ketulusan
dan empati membantu memperbaiki hubungan seseorang dengan
orang lain.
15. Seseorang akan bermanfaat bagi orang lain apabila terbuka terhadap
pengalaman, tidak terlalu mementingkan diri, peduli pada sekitarnya, dan
memiliki hubungan yang harmonis dengan orang lain.
16. Aktualisasi diri adalah dorongan untuk mengembangkan potensi secara penuh
sebagai manusia dari diri seseorang.
Salah satu kritikus terhadap
humanisme mengatakan adalah sulit untuk mengukur aktualisasi diri. Ada
juga yang berpendapat humanisme terlalu optimis dalam memandang manusia.
Yang lain lagi mengatakan humanisme membangkitkan rasa kekaguman pada diri
sendiri.
E. KONSTRUKTIVISME
Dalam perkembangan
selanjutnya, arus utama kognitivisme bergeser ke konstruktivisme. Para
kognitivis pun mengikut dinamika perubahan menuju konstruktivis.
1.
Pengertian
Konstruktivisme memandang
belajar sebagai proses di mana pembelajar secara aktif
mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan
atau konsep-konsep baru didasarkan atas pengetahuan yang telah
dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu. Dengan kata lain,
”belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari
pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri”. Dengan demikian,
belajar menurut konstruktivis merupakan upaya keras yang
sangat personal, sedangkan internalisasi konsep, hukum,
dan prinsip-prinsip umum sebagai konsekuensinya seharusnya
diaplikasikan dalam konteks dunia nyata. Guru bertindak
sebagai fasilitator yang meyakinkan siswa untuk menemukan sendiri
prinsip-prinsip dan mengkonstruksi pengetahuan dengan memecahkan
problem-problem yang realstis. Konstruktivisme juga dikenal sebagai
konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses sosial. Kita dapat melakukan
klarifikasi dan mengorganisasi gagasan mereka sehingga
kita dapat menyuarakan aspirasi mereka. Hal ini
akan memberi kesempatan kepada kita mengelaborasi apa yang
mereka pelajari. Kita menjadi terbuka terhadap pandangan orang lain Hal ini
juga memungkinkan kita menemukan kejanggalan dan inkonsistensi karena dengan
belajar kita bisa mendapatkan hasil terbaik. Konstruktivisme dengan sendirinya
memiliki banyak variasi, seperti Generative Learning, Discovery Learning, dan
knowledge building. Mengabaikan variasi yang ada, konstruktivisme membangkitkan
kebebasan eksplorasi siswa dalam suatu kerangka atau struktur.
Dalam sidut pandang laiinya.
konstruktivisme merupakan seperangkat asumsi tentang keadaan alami belajar dari
manusia yang membimbing para konstruktivis mempelajari teori metode mengajar
dalam pendidikan.
Nilai-nilai konstruktivisme
berkembang dalam pembelajaran yang didukung oleh guru secara
memadai berdasarkan inisiatif dan arahan dari siswa sendiri.
Ada istilah lain yang sering
disalahartikan sama dengan konstruktivisme, yaitu maturationisme.
Konstruktivisme (yang merupakan perkembangan kognitif) merupakan suatu aliran
yang "yang didasarkan pada gagasan bahwa proses dialektika atau interaksi
dari perkembangan dan pembelajaran melalui konstruksi aktif dari siswa sendiri
yang difasilitasi dan dipromosikan oleh orang dewasa " Sedangkan,
"Aliran maturationisme romantik didasarkan pada gagasan bahwa perkembangan
alami siswa dapat terjadi tanpaintervensi orang dewasa dalam lingkungan yang
penuh kebebasan " (DeVries et al., 2002).
2.
Teori Tahapan Perkembangan Anak dari Piaget
Selama berabad-abad yang lalu
gagasan konstruktivis kurang berkembang secara luas disebabkan persepsi yang
umum pada waktu itu bahwa kegiatan bermain yang dilakukan siswa dalam
pembelajaran tampaknya kurang penting atau yang lebih parah dianggap tidak dapat
mencapai apapun. Jean Piaget tidak setuju dengan pandangan tradisional ini. Ia
memandang kegiatan bermain sebagai sesuatu yang penting dan sangat
diperlukan sebagai bagian dari perkembangan
kognitif siswa. Untuk mendukung pandangannya
tersebut, Piaget mengajukan bukti ilmiah. Pada saat
ini, teori konstruktivisme sangat mempengaruhi seluruh sektor
pendidikan bahkan sektor pendidikan informal.
Menurut Ernst von Glasersfeld
(1996), Jean Piaget adalah "pelopor terbesar teori konstruktivisme yang
diketahui" serta "konstruktivis paling produktif di abad ini."
Namun apabila kita telusuri, jauh sebelumnya konstruktivisme sebagai gagasan
sudah dilontarkan oleh banyak tokoh pendidikan.
Gredler (2001)
mengkategorikan Piaget sebagai konstruktivis
radikal karena menganggap bahwa konstruktivisme radikal muncul secara
langsung sebagai akibat dari teori Piaget tentang tahapan perkembangan kognitif
anak.
Meskipun tidak ada teori
perkembangan kognitif yang umum, teori yang paling bersejarah dan berpengaruh
adalah teori yang dikembangkan oleh Jean Piaget, Psikolog berkebangsaan Swiss
(1896-1980). Teorinya berisi konsep-konsep utama di bidang psikologi
perkembangan dan berkenaan dengan pertumbuhan intelegensi, yang untuk Piaget,
berarti kemampuan untuk secara lebih akurat merepresentasikan dunia, dan dan
mengerjakan operasi-operasi logis dari representasi-representasi konsep
realitas dunia. Teori ini memiliki fokus perhatian pada bangkitnya dan
dimilikinya schemata—skema bagaimana seseorang mengenal dunia—dalam saat
"tingkatan-tingkatan perkembangan", ketika anak-anak menerima cara
baru bagaimana secara mental merepresentasikan informasi. Teori ini dianggap
"konstruktivis", yang berarti bahwa, tidak seperti teori nativis
(yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai perkembangan dari
pengetahuan dan kemampuan bawaan) ataupun teori empiris (yang berpendapat bahwa
perkembangan kognitif sebagai perolehan gradual dari pengetahuan melalui
pengalaman), teori ini berpendapat bahwa kita mengkonstruksi kemampuan kognitif
kita melalui kegiatan motivasi-diri dalam dunia nyata. Karena teorinya
ini, Piaget mendapatkan Penghargaan Erasmus.
Piaget membagi skema Anak
dalam menggunakan pemahamannya untuk memahami dunia mealui empat tahapan utama,
yang secara umum berkorelasi dengan dan semakin bertambah canggih sejalan
dengan bertambahnya usia:
a.
Tahapan Sensorimotor (Usia 0-2 tahun)
Menurut Piaget, anak dalam
tahapan sensorimotor lebih mengutamakan mengeksplorasi dunia nyata dengan
perasaan dibandingkan dengan melalui operasi mental. Bayi terlahir dengan
seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget, sebagai tambahan dorongan untuk
melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema awalnya dibentuk melalui
diferensiasi refleks-refleks yang sama tersebut (lihat asimilasi dan
akomodasi di bagian berikut).
Tahapan sensorimotor merupakan
tahapan paling awal dari empat tahapan. Menurut Piaget, tahapan ini ditandai
dengan berkembangnya kemampuan spasial esensial dan pemahaman dari dunia nyata
yang terdiri dari enam sub-tahapan.
Sub-tahapan pertama terjadi
dari kelahiran sampai dengan enam minggu dan berasosiasi terutama dengan
perkembangan refleks. Tiga refleks utama dideskripsikan oleh Piaget: memasukkan
objek-objek ke mulut, mengikuti pandangan mata ke objek begerak atau objek
menarik, dan mengepalkan tangan ketika suatu objek kontak dengan telapak
tangan. Selama enam minggu kehidupan awal, refleks-refleks ini mulai menjadi
kegiatan yang disadari; sebagai contoh, refleks mengepal menjadi gerakan
menangkap dengan sengaja. (Gruber and Vaneche, 1977).
Sub-tahapan kedua terjadi
sejak usia enam minggu sampai empat bulan dan terutama berasosiasi dengan
kebiasaan. Ciri utamanya adalah reaksi berulang atau pengulangan kegiatan
yang pada awalnya hanya melibatkan satu bagian tubuhnya saja. Contoh
dari tipe reaksi ini antara lain
mencakup seorang bayi berulang-ulang menggerakkan tangannya
di depan wajahnya. Juga pada tahapan ini dimungkinkan dimulainya reaksi pasif,
disebabkan oleh classical conditioning atau operant conditioning (Gruber et
al., 1977).
Sub-tahapan ketiga terjadi
mulai bayi berusia empat bulan sampai sembilan bulan dan terutama berasosiasi
dengan koordinasi antara pandangan dengan pengenalan melalui indera lainnya.
Tiga kemampuan baru mulai dimiliki pada tahapan ini: menggenggam dengan sengaja
benda-benda yang diinginkan, reaksi berulang kedua, dan diferensiasi terhadap
cara dan keinginan. Pada tahapan ini, seorang bayi menggapai-gapai di udara
secara sengaja ke arah suatu objek yang diinginkannya, gerakan lucu yang
seringkali sangat disenangi oleh keluarganya. Reaksi berulang kedua, atau
pengulangan terhadap suatu gerakan yang melibatkan objek eksternal dimulai:
seperti gerakan orang dewasa memencet tombol lampu secara berulang. Ada
kemungkinan ini merupakan satu dari tahapan paling penting dari pertumbuhan
anak karena ini sangat berarti bagi dimulainya penalaran (Gruber et al., 1977).
Bagian paling akhir dari dari sub-tahapan ini adalah bayi mulai memiliki
perasaan keberadaan objek secara permanen, semacam melalui tes kesalahan
A-bukan-B.
Sub-tahapan ke empat terjadi
dari usia sembilan sampai dua belas bulan dan berasosiasi terutama dengan
perkembangan logika dan koordinasi antara cara dan keinginan. Tahapan ini amat
vital dari perkembangan, terjadi apa yang disebut Piaget "kecerdasan
sebenarnya pertama." Juga, tahapan ini ditandai dengan dimulainya
orientasi tujuan, perencanaan besar dari langkah-langkah untuk mencapai tujuan
(Gruber et al. 1977).
Sub-tahapan kelima terjadi
dari usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berasosiasi terutama dengan
penemuan keinginan-keinginan baru untuk mencapai tujuan. Piaget mendeskripsikan
anak pada tahapan ini sebagai "cendekiawan muda," memulai semacam
eksperimen untuk menemukan metode baru dalam menemui tantangan (Gruber et al.
1977).
Sub-tahapan ke enam
berasosiasi terutama dengan dimulainya wawasan, atau kretivitas yang
sesungguhnya. Saat ini menandai transformasi menuju tahapan preoperasional.
1)
Peranan imitasi
Piaget merumuskan kegiatan
imitatif merupakan pendahuluan dari simbolisme mental.[1] Aktivitas tubuh,
menirukan gerakan dari fenomena yang teramati, pada akhirnya membangun
pemberi arti tubuh/perilaku yang tertuju pada fenomena dalam cara yang bisa
diperbandingkan dengan simbol-simbol mental yang kemudian akan menjadi
fenomena-fenomena tersebut. Bentuk-bentuk imitatif seperti ini memfasilitasi
dasar-dasar kegiatan simbolik mental yang terbangun di kemudian hari. Simbolnya
adalah, menurut Piaget, suatu imitasi yang terinternalisasi.
Bagi Piaget, bahkan persepsi
dari suatu objek merupakan aktivitas imitatif; ketika mata melacak bentuk dari
suatu objek ia akan membentuk konsep pre-simbolik dari objek tersebut. Piaget
mengungkapkan bahwa pengalaman akan berbagai gerakan di sini kemungkinan
diulangi oleh anak di dalam suatu peragaan singkat ketika mengingat-ingat
objek; Gambaran tubuh ini mensimbolkan objek yang telah dipersepsikan
sebelumnya.
b.
Tahapan Praoperational (Usia 2-7 tahun)
Tahapan preoperasional
merupakan tahapan kedua dari empat tahapan
perkembangan kognitif. Dengan mengamati urutan bermain, Piaget dapat
mendemonstrasikan bahwa sampai dengan akhir tahun kedua secara kualitatif
terjadi fungsi psikologis jenis baru. Cara bekerja teori aliran Piaget adalah
dalam berbagai prosedur peran mental terhadap objek. Ciri pembeda dari tahapan
preoperasional adalah operasi mental yang jarang tidak memadai logika.
Menurut Piaget, tahapan
Pre-Operasional dari perkembangan mengikuti tahapan Sensorimotor dan terjadi
antara usia 2-7 tahun. Tahapan ini meliputi beberapa proses:
Symbolic functioning
(pemfungsian simbol) - yang dicirikan oleh penggunaan simbol-simbol
mental berupa kata atau gambar yang digunakan anak untuk
merepresentasikan sesuatu yang secara fisik tidak ada.
Centration (pemusatan) -
dicirikan oleh fokus atau pemusatan perhatian dari anak pada hanya satu aspek
dari stimulus atau situasi. Sebagai contoh, dalam menuangkan sejumlah tertentu
cairan dari dari wadah yang sempit ke dalam mangkuk yang dangkal, anak
prasekolah kemungkinan menyimpulkan bahwa kuantitas dari
cairan telah berkurang, karena menjadi "lebih rendah"—hal
ini dikarenakan anak hanya memperhatikan ketinggian air, namun tidak memperhitungkan
diameter wadah yang baru. Intuitive thought (pemikiran intuitif)- terjadi
ketika anak dapat mempercayai sesuatu tanpa memahami mengapa dia mempercayai
itu.
Egocentrism - suatu jenis
centration, yang berarti suatu tendensi dari seorang anak untuk memikirkan
hanya sudut pandangnya sendiri saja. Juga, ketidakmampuan anak untuk memahami
sudut pandang orang lain.
Inability to Conserve (ketidak
mampuan berbicara) - Melalui eksperimen yang pernah dilakukan Piaget dalam
percakapan (pembicaaan tentang massa, volume dan angka) Piaget menyimpulkan
bahwa anak-anak pada tahapan preoperasional memiliki persepsi yang kurang dalam
pembicaraan tentang massa, volume, dan angka setelah bentuk aslinya berubah.
Sebagai contoh, seorang anak pada tahapan ini akan percaya bahwa roti yang
ditata berjajar dengan pola "O-O-O-O-O" akan memiliki jumlah yang
sama dengan roti yang ditata berjajar dengan pola
"OO-O-OO-O", karena mereka memiliki panjang atau
ketinggian yang sama, atau cairan dalam gelas 8-ons yang yang lonjong memiliki
cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan cairan 8-ons dalam gelas yang
melebar (lihat juga centration, di atas).
c.
Tahapan Operasional Konkret (Usia 7-11
tahun)
Tahapan Operasional Konkret
merupakan tahapan ketiga dari empat tahapan dalam teori perkembangan kognitif
Piaget. Tahapan ini, yang merupakan kelanjutan dari tahapan Preoperasional,
terjadi ketika anak berusia antara 6 dan 11 tahun dan dicirikan oleh penggunan
logika yang memadai. Proses penting yang terjadi selama tahapan ini adalah:
1)
Decentering (tidak memusat)-ketika
anak memperhitungkan berbagai aspek dari suatu masalah
untuk memecahkannya. Sebagai contoh, anak tidak lagi memiliki persepsi bahwa
gelas yang sangat lebar namun pendek dapat menampung cairan lebih sedikit
dibandingkan gelas yang lebarnya cukup namun lebih tinggi.
2)
Reversibility (kemampuan membalik)-ketika
seorang anak memahami bahwa jumlah suatu objek dapat berubah, dan
mengembalikannya pada keadaan semula. Dalam kondisi demikian, anak dengan cepat
dapat memutuskan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 sama dengan 4, jumlah sebenarnya.
3)
Conservation (pembicaraan) memahami bahwa
kuantitas, panjang atau jumlah suatu item tidak berhubungan
dengan penyusunan atau kenampakan objek
atau item tersebut. Sebagai contoh, ketika pada seorang anak ditunjukkan
dua wadah gelas dan mangkuk, ia akan memahami bahwa jika air di dalam gelas
dipindahkan ke dalam mangkuk akan berubah ketinggiannya
namun sama kuantitasnya dibandingkan dengan wadah sebelumnya.
4)
Serialisation (serialisasi)-kemampuan
merangkai kembali objek secara berurutan berdasarkan
ukuran, bentuk, atau karakteristik lain. Sebagai contoh, jika mereka diberi
objek dengan gradiasi warna, mereka akan mengenal gradiasi warna tersebut.
5)
Classification (klasifikasi)-yaitu kemampuan
untuk menyebutkan nama dan mengidentifikasi seperangkat objek menurut
kenampakannya, ukuran atau karakteristik lainnya, termasuk gagasan bahwa
seperangkat objek dapat mencakup objek lainnya. Seorang anak pada tahapan ini
tidak lagi menjadi subjek pembatasan yang tidak logis dari
animisme (suatu kepercayaan bahwa semua objek adalah binatang dan
karenanya memiliki perasaan).
6)
Elimination of Egocentrism (pembatasan
egosentrisme)-kemampuan memandang segala sesuatu dari perspektif orang lain
(meskipun jika perpsektif itu tidak benar). Sebagai contoh,
perlihatkan seorang anak komik yang
memperlihatkan Jane meletakkan sebuah boneka di bawah kotak, meninggalkan
ruangan, dan kemudian Jill menggerakkan boneka tersebut ke laci, dan Jane
kembali. Seorang anak dalam tahapan konkret operasional akan mengatakan
bahwa Jane akan tetap berpikir boneka tersebut di bawah kotak meskipun anak
tersebut tahu sesungguhnya bonekanya dalam laci.
d.
Tahapan operasional formal (Usia 11
tahun-Dewasa)
Tahapan Operasional
Formal merupakan tahapan keempat dan terakhir dari
seluruh tahapan perkembangan kognitif anak dari Teori Piaget. Tahapan
ini, yang mengikuti tahapan Operasional Konkret, pada umumnya terjadi di sekitar
usia 11 tahun (pubertas) dan berlanjut ke masa
kedewasaan. Karakteristik dari tahapan ini yaitu
memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak dan menarik kesimpulan dari informasi
yang berhasil diperolehnya. Selama tahapan ini seorang muda memiliki fungsi
sebagaimana orang dewasa dan nilai-nilai, "rahasia orang dewasa", dan
nilai-nilai. Hal ini mudah dimengerti, karena faktor-faktor biologis
kemungkinan dapat dilacak dari tahapan ini sebagaimana apa yang terjadi selama
masa pubertas dan ditandai masuknya ke masa dewasa dalam Physiology, kognitif,
dan penilaian moral (Kohlberg), perkembangan Psychosexual
(Freud), dan perkembangan sosial (Erikson). Sekitar dua pertiga dari orang
tidak sepenuhnya sukses dalam tahapan ini, dan "terpaku" pada tahapan
operasional konkret.
e.
Gambaran umum mengenai tahapan
Dari ke empat tahapan tersebut
ditemukan karakteristik berikut ini:
1)
Meskipun waktunya bervariasi, urutannya sama.
2)
Berlaku secara universal (tidak dipengaruhi
budaya tertentu)
3)
Dapat digeneralisasikan: operasi yang logis dan
representatif yang dialami seorang anak seharusnya meluas ke semua konsep dan
isi pengetahuan.
4)
Tahapan-tahapan secara keseluruhan secara logis.
5)
Hirarkhi alamiah dari urutan tahapan
(setiap tahapan lanjutan merupakan elemen kesatuan dari tahapan sebelumnya,
namun lebih bervariasi dan terpadu).
6)
Tahapan merepresentasikan perbedaan kualitatif
dalam model berfikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif.
f.
Kritik Bagi Teori Tahapan Perkembangan Piaget
Teori Piaget tentang
perkembangan ini mendapat banyak tantangan dari beberapa aspek.
Pertama, Piaget sendiri menyatakan, perkembangan
tidak selalu berlangsung dengan cara yang mulus seperti yang diprediksi
dalam teorinya. Decalage', atau kesenjangan yang tidak diperkirakan selama
berlangsungnya perkembangan, mengungkapkan bahwa model tahapan ini paling baik
digunakan sebagai perkiraan.
Lebih jauh lagi, teori Piaget
merupakan domain umum, memperkirkan bahwa kematangan kognitif
terjadi lintas domain yang berbeda secara
bersamaan (seperti matematika, logka, pemahaman fisika, bahasa, dsb). Namun
demikian, para penganut teori perkembangan kognitif aliran terkini sangat
dipengaruhi oleh kecenderungan dari sains kognitif menjauh dari generalisasi
domain dan menuju spesifikasi domain atau modularitas pikiran, yaitu
bagian-bagian kognitif yang berbeda kemungkinan sangat
independen satu sama lain sehingga berkembang dalam waktu yang amat berbeda.
Dalam aliran pemahaman tersebut, para penganut teori perkembangan kognitif
aliran terkini memberikan alasan bahwa daripada berada pada domain umum
pembelajar, mereka lebih cenderung pada teori yang berpendapat bahwa anak-anak
sudah dilengkapi dengan teori domain spesifik, yang lebih sering disebut 'inti
pengetahuan', yang memungkinkan mereka melakukan terobosan dalam belajar dalam
domain tersebut. Sebagai contoh, bahkan anak yang masih bayi menunjukkan
pemahamannya pada beberapa prinsip dasar fisika (seperti satu objek tidak dapat
menembus objek lainnya) dan keinginannya layaknya
manusia yang sudah dewasa seseorang (seperti salah satu tanganya secara
berulang-ulang menggapai-gapai suatu objek untuk mendpatkan objek tersebut,
bukan hanya gerakan tanpa arti, namun lebih sebagai tujuan). Asumsi dasar ini
kemungkinan semacam blok-blok bangunan yang menyusun pengetahuan yang telah
dikonstruksi sehingga lebih terelaborasi.
3.
Teori konstruktivisme
Munculnya teori
konstruktivisme secara eksplisit pada dasarnya adalah berkat Jean Piaget, yang
menegaskan perbedaan pendapatnya tentang mekanisme internalisasi pengetahuan
pada diri pembelajar. Ia berpendapat bahwa melalui proses akomodasi dan
asimilasi, individu mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya.
Asimilasi terjadi ketika pengalaman baru dari individu cocok dengan
representasi dunia nyata dalam diri (internal) mereka. Mereka mengasimilasikan
(menjadikannya sebagai bagian dari dirinya) pengalaman baru itu dalam kerangka
yang sudah ada. Asimilasi merupakan proses membingkai kembali representasi
mental seseorang dari dunia nyata supaya cocok dengan pengalamannya yang baru.
Akomodasi dapat dipahami
sebagai suatu mekanisme bagaimana mengubah suatu kegagalan menjadi keberhasilan
melalui proses pembelajaran. Ketika kita berharap bahwa dunia bekerja dengan
cara sesuai keinginan kita, dan ternyata yang terjadi adalah
sebaliknya, maka kemungkinan besar kita mengalami kegagalan. Dengan
mengakomodasi pengalaman baru ini dan membingkai ulang model yang kita
kehendaki, kita memperoleh hal baru dari belajar tentang kegagalan.
Penting untuk dicatat bahwa
konstruktivisme dengan sendirinya bukan merupakan paedagogi tunggal yang
istimewa. Kenyataannya, konstruktivisme menjelaskan bagaimana
berlangsungnya pembelajaran yang ideal, tanpa memandang apakah pembelajar
memanfaatkan pengalamannya untuk memahami materi ataukah digunakannya untuk
mencoba mendesain model pesawat terbang. Pada keduanya, teori konstruktivisme
menganggap yang penting adalah pembelajar mengkonstruksi pengetahuannya.
Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan
dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing.
a.
Intervensi Konstruktivisme dalam pembelajaran
1)
Kondisi alamiah pembelajar
a. Pembelajar adalah individu yang unik
Konstruktivisme sosial
memandang setiap pembelajar sebagai individu yang unik dengan keunikan
kebutuhan dan latar belakang. Pembelajar juga dipandang secara kompleks dan
multidimensional. (Gredler 1997). Konstruktivisme sosial bukan hanya memahami
keunikan dan kompleksitas pembelajar, namun juga membangkitkan, memanfaatkan
dan memberikan penghargaan pada keduanya sebagai bagian integral dari proses
pembelajaran (Wertsch 1997).
b.
Pentingnya latar belakang dan budaya pembelajar
Gredler (1997) juga menekankan
pentingnya latar belakang dan budaya pembelajar. Konstruktivisme sosial
membangkitkan keberanian pembelajar untuk sampai pada kebenaran versi
masing-masing, yang dipengaruhi oleh latar belakangnya, budaya atau
lingkungannya. Perkembangan historis atau sistem simbol, seperti bahasa,
logika, dan sistem matematika, merupakan faktor bawaan dari pembelajar sebagai
anggota dari budaya tertentu dan hal ini dipelajari pembelajar di sepanjang
hidupnya. Berbagai simbol tersebut menuntun bagaimana pembelajar belajar dan
apa yang dipelajari (Gredler 1997). Hal ini juga menekankan pentingnya
interaksi sosial pembelajar secara alami dengan anggota masyarakat
yang berpengetahuan. Tanpa interaksi sosial
dengan anggota masyarakat yang berpengetahuan, adalah mustahil untuk
memperoleh arti sosial dari sistem simbol yang penting dan belajar bagaimana
memanfaatkannya. Anak-anak muda mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui
interaksi dengan orang dewasa. Dari sudut pandang konstruktivisme sosial,
menjadi sangat penting mempertimbangkan latar belakang dan budaya pembelajar
sepanjang proses pembelajaran, karena latar belakang semacam ini juga membantu
membentuk pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan, ditemukan, dan
diperoleh selama proses pembelajaran berlangsung
(Gredler 1997; Wertsch 1997).
c.
Tanggung jawab belajar
Lebih jauh lagi, ada alasan
kuat bahwa tanggung jawab belajar seharusnya berangsur-angsur diberikan kepada
pembelajar. Karenanya kostruktivisme sosial menekankan pentingnya
keterlibatan aktif pembelajar dalam proses belajar, tidak seperti pandangan
dunia pendidikan sebelumnya yang meletakkan tanggung jawab belajar pada guru
untuk mengajar sehingga peran pembelajar pasif, bersifat hanya menerima. Von
Glasersfeld (1989) menekankan agar pembelajar mengkonstruksi pemahamannya
sendiri dan tidak hanya sekedar meniru dan melakukan begitu saja apa yang ia
baca. Ketika tiada informasi yang lengkap, pembelajar mencari kebermaknaan dan
memiliki kemauan untuk mencoba menemukan keteraturan dan pola kejadian-kejadian
di dunia nyata.
d.
Motivasi belajar
Asumsi penting lain
mengenai keadaan alami pembelajar berkenaan dengan tingkatan dan sumber
motivasi belajar. Menurut Von Glasersfeld (1989) motivasi yang paling cocok
untuk belajar secara kuat bergantung pada kepercayaan diri siswa yang ada dalam
potensinya untuk belajar. Perasaan akan adanya kompetensi dan kepercayaan akan
adanya potensi untuk memecahkan masalah baru, hampir seluruhnya diperoleh dari
pengalaman langsungnya (first-hand experience) dalam menuntaskan masalah di
masa lalu dan jauh lebih kuat dari pada motivasi dan pemberitahuan eksternal
(Prawat dan Floden 1994). Hal ini terkait dengan "zone of proximal
development" nya Vygotsky (Vygotsky 1978) yang berpendapat bahwa sebaiknya
pembelajar diberi tantangan yang setingkat, atau sedikit di atas
perkembangannya pada saat itu. Berbekal pengalaman sukses sepenuhnya dalam
menuntaskan tugas yang menantang, pembelajar memperoleh kepercayaan
diri dan motivasi untuk menaklukkan tantangan baru yang lebih besar.
2)
Peran guru
a.
Guru (atau instruktur) sebagai fasilitator
Menurut pendekatan
konstruktivis sosial, guru harus menyesuaikan perannya dari sebagai
instruktur ke peran sebagai fasilitator (Steffe dan Gale 1995).
Ketika seorang guru memberikan pembelajaran dalam suatu mata pelajaran,
perannnya sebagai fasilitator membantu pembelajar untuk memperoleh pemahamannya
sendiri tentang materi. Selama proses pembelajaran, dalam skenario pembelajaran
tradisional pembelajar berperan pasif, dalam pembelajaran konstruktivisme
sosial pembelajaran berperan aktif. Dengan demikian, penekanannya berubah dari
instruktur dan materi ke pembelajar (Kukla 2000). Perubahan dramatik
dalam hal peran ini membawa konsekuensi pada guru untuk memiliki seperangkat
keterampilan baru dari sebelumnya sebagai suatu keharusan (Brownstein 2001).
Sebagai guru ia memberitahu, sebagai fasilitator ia bertanya; sebagai guru ia
"ing ngarso", sebagai fasilitator ia "tut wuri"; seorang
guru memberikan jawaban sesuai seperangkat kurikulum, seorang fasilitator,
seorang fasilitator memberikan garis besar haluan dan menciptakan lingkungan
untuk pembelajar agar bisa menemukan kesimpulannya sendiri; seorang guru
cenderung monolog, seorang fasilitator senantiasa dialog dengan pembelajar
(Rhodes dan Bellamy 1999). Seorang fasilitator seharusnya juga mampu
mengadaptasi pengalaman belajarnya sendiri dalam rangka mengarahkan pengalaman
belajar itu menuju ke mana pembelajar ingin menciptakan sendiri nilai yang
bermakna.
Lingkungan
pembelajar seharusnya juga dirancang untuk
mendukung dan memberikan tantangan pada proses berpikir pembelajar (Di
Vesta, 1987). Meskipun disarankan agar memberikan kepada pembelajar akses
untuk menemukan masalahnya sendiri dan proses pemecahannya, seringkali kegiatan
ataupun solusinya tidak memadai. Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah
memberikan pembelajar dukungan untuk menjadi pemikir efektif. Hal ini bisa
dilakukan dengan memainkan peran ganda, yaitu konsultan dan pelatih.
3)
Kondisi alamiah proses pembelajaran
a.
merupakan proses sosial yang aktif
Para pakar konstruktivisme
sosial memiliki pandangan belajar sebagai proses aktif di mana pembelajar
seharusnya belajar untuk menemukan sendiri prinsip, konsep, dan fakta sehingga
sebaiknya diberikan teka-teki yang menantang dan cara berpikir intuitif
dar pembelajar (Brown et al.1989; Ackerman 1996; Gredler 1997).
Kenyataannya -bagi konstruktivis sosial- prinsip, konsep dan fakta bukanlah
sesuatu yang kita bisa temukan begitu saja karena sebelumnya tidak ada dan
bukan menjadi prioritas utama bagi masyarakat kita untuk menemukannya. Kukla
(2000) berpandangan bahwa prinsip.konsep dan fakta direkonstruksi oleh
aktivitas sendiri dan bahwa manusia, yang secara bersama-sama menjadi
anggota masyarakat menemukannya untuk menjadi properti dunia
nyata mereka.
Pakar konstruktivis lain
setuju dengan pendapat di atas namun lebih menekankan bahwa individual
memberikan makna melalui interaksinya dengan orang lain dan dalam lingkungan
tempat ia hidup. Dengan demikian pengetahuan merupakan produk dari manusia yang
dikonstruksi secara sosial dan kultural (Ernest 1991; Gredler 1997; Prawat dan
Floden 1994). McMahon (1997) setuju bahwa belajar merupakan proses sosial. Ia
menambahkan bahwa belajar bukanlah proses yang hanya terjadi di dalam pikiran
kita, juga bukan perkembangan pasif dari perilaku kita yang dibentuk oleh
kekuatan dari luar diri kita; proses belajar yang berarti terjadi ketika
individu terlibat dalam kegiatan sosial.
Vygotsky (1978) juga
mennyoroti perpaduan dari elemen sosial dan praktikal dalam pembelajaran dengan
mengatakan bahwa peristiwa penting dalam proses perkembangan intelektual
terjadi ketika berbicara dan aktivitas praktikal, dua jalur perkembangan yang
benar-benar independen satu sama lain, menyatu.
Melalui kegiatan praktikal
seorang anak mengkonstruksi arti pada tingkatan intrapersonal, sedangkan
berbicara menghubungkan arti tersebut dengan dunia interpersonal sebagai
wahana ia berbagi dengan budayanya.
b.
Interaksi dinamis antara tugas, guru, dan
pembelajar
Karakteristik yang lebih
jauh dari peran guru sebagai fasilitator dalam sudut pandang konstruktivisme
sosial, adalah bahwa guru dan pembelajar memiliki intensitas keterlibatan yang
sama (Holt dan Willard-Holt 2000). Hal ini berarti bahwa pengalaman belajar di
samping objektif juga subjektif dan membutuhkan kondisi di mana budaya,
nilai, dan latar belakang guru menjadi
bagian esensial sebagai penghubung antara pembelajar
dan tugasnya dalam mengkonstruksi makna. Pembelajar membandingkan kebenaran
versinya dengan versi guru dan temannya dalam rangka untuk mendapatkan
kebenaran versi masyarakat yang telah teruji (Kukla 2000). Tugas
atau masalahnya adalah adanya interface (batas) antara guru dan pembelajar
(McMahon 1997). Hal ini akan memunculkan interaksi dinamis antara tugas, guru
dan pembelajar. Hal ini membawa konsekuensi pembelajar dan guru seharusnya
mengembangkan suatu kepedulian terhadap sudut pandang orang lain dan kemudian
melihat kembali kepercayaan, standar dan nilai-nilainya, dengan demikian
berperilaku subjektif sekaligus objektif secara simultan (Savery
1994).
Green dan Gredler (2002)
menekankan belajar sebagai suatu proses interaktif, meliputi proses yang
diskursif (rasional), adaptif, interaktif dan reflektif secara berkualitas.
Menurut keduanya fokus utama dari belajar adalah hubungan timbal balik antara
guru-siswa. Beberapa penelitian yang lain, juga memberikan alasan pentingnya
mentoring (belajar dengan mentor, senior yang berpengalaman) di dalam proses
belajar (Archee dan Duin 1995; Brown et al. 1989). Model pembelajaran
konstruktivisme sosial dengan demikian menekankan pentingnya hubungan timbal
balik antara siswa dengan guru selama proses pembelajaran berlangsung.
Beberapa pendekatan belajar
yang sesuai untuk belajar interaktif antara lain pembelajaran reciprocal,
kolaborasi kelompok, cognitive apprenticeships, problembased instruction, web
quests, anchored instruction dan pendekatan lain yang melibatkan belajar dengan
orang lain.
4)
Kolaborasi di antara pembelajar
Pembelajar dengan kemampuan
dan latar belakang seharusnya berkolaborasi dalam tugas dan diskusi dalam
rangka menuju pemahaman bersama tentang kebenaran suatu bidang tertentu.
Kebanyakan model
konstruktivisme, seperti yang dikemukakan oleh Duffy dan Jonassen (1992), juga
menekankan kebutuhan akan kolaborasi antara pembelajar, hal ini jelas berbeda
dengan pendekatan tradisional yang lebih mengedepankan sifat kompetitif. Salah
seorang penganut Vygotski memberikan catatan bahwa begitu berartinya implikasi
dari peer collaboration, sebagai bagian dari the zone of proximal development.
Di sini, zone perkembangan proksimal (terdekat)
didefinisikan sebagai jarak antara tingkat
perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah
secara independen dan tingkatan perkembangan potensial seperti yang ditentukan
oleh pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan
peer lain yang sudah berpengalaman; batasan ini berbeda dengan keadaan biologis
alamiah yang fix dari tingkatan perkembangannya Piaget. Melalui suatu proses
yang disebut 'scaffolding' (dukungan) seorang pembelajar dapat dapat
dipacu mencapai tingkatan di atas keterbatasan kematangan fisik sehingga tidak
terjadi proses perkembangan tertinggal di belakang proses pembelajaran
(Vygotsky 1978).
a)
Pentingnya konteks
Paradigma konstruktivisme
sosial memandang konteks dari terjadinya pembelajaran sebagai pusat dari
pembelajaran itu sendiri (McMahon 1997).
Yang perlu digarisbawahi dari
suatu catatan penting bahwa pembelajar merupakan prosesor aktif adalah
"asumsi bahwa tidak ada satu pun bagian dari seperangkat hukum
pembelajaran yang telah digeneralisasi yang dapat diterapkan untuk semua
domain" (Di Vesta 1987:208). Pengetahuan yang tidak dikontekstualkan tidak
mampu memberikan kita keterampilan untuk menerapkan pengetahuan kita dalam
tugas-tugas yang autentik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Duffy dan Jonassen
(1992), kita bekerja dengan konsep dalam lingkungan yang kompleks melainkan
pengalaman dari hubungan timbal balik yang kompleks dari lingkungan yang juga
kompleks yang menentukan bagaimana dan kapan suatu konsep digunakan. Salah
seorang konstruktivis memberikan catatan bahwa pembelajaran yang autentik atau
sesuai situasi adalah pembelajaran di mana siswa mengambil bagian dalam
kegiatan yang secara langsung relevan dengan penerapan hasil pembelajaran dan
yang terjadi dalam budaya yang sama dengan setting penerapannya (Brown et al.
1989). Cognitive apprenticeship (pelatihan kognitif) dianggap sebagai model
konstruktivisme yang efektif dalam pembelajaran di mana model ini mencoba
"enkulturasi (pembudayaan) siswa dalam kegiatan praktis yang autentik
melalui kegiatan dan interaksi sosial dalam cara yang sama dengan pelatihan di
bidang keterampilan yang telah terbukti sukses " (Ackerman 1996:25).
Konteks di mana pembelajaran
terjadi maupun konteks sosial di mana pembelajar membawanya ke lingkungan
belajar dengan sendirinya menjadi faktor penentu dalam pembelajaran itu sendiri
(Gredler 1997).
b)
Asesmen (penilaian)
Holt dan Willard-Holt (2000)
menekankan konsep asesmen dinamis, suatu cara mengases potensi sebenarnya dari
pembelajar yang secara signifikan berbeda dengan tes konvensional. Kondisi
belajar alamiah yang esensial diperluas sampai ke proses asesmen. Bila biasanya
asesmen sebagai suatu proses dilakukan oleh seseorang, misalnya guru, di sini
dipandang sebagai suatu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara guru
dan pembelajar. Peranan guru sebagai asesor melakukan dialog dengan siswa yang
diases untuk menemukan tingkatan performansnya dalam melakukan tugas pada saat
itu dan curah pendapat dengannya tentang cara yang mungkin bisa ditempuh dalam
memperbaiki performansnya pada kesempatan berikutnya. Dengan demikian, asesmen
dan pembelajaran dipandang sebagai jalinan proses yang tak terpisahkan (Holt
dan Willard-Holt 2000).
Berdasarkan pandangan ini
seorang guru seharusnya memandang asesmen sebagai proses yang terus
menerus dalam mengukur pencapaian pembelajar, kualitas pengalamannya dalam
pembelajaran dan proses pembelajarannya. Asesmen juga merupakan bagian integral
dari pengalaman belajar dan bukan proses yang berdiri sendiri (Gredler 1997).
Umpan balik dari proses asesmen berfungsi sebagai masukan langsung yang menjadi
dasar untuk perkembangan selanjutnya. Asesmen seharusnya tidak menjadi proses
intimidasi yang menyebabkan kecemasan siswa, melainkan proses yang bersifat
mendukung yang membangkitkan keberanian siswa untuk ingin dievaluasi di masa
mendatang, sehingga harus fokus pada perkembangan yang terjadi pada siswa
(Green dan Gredler 2002).
5)
Pemilihan, cakupan, dan tata urutan materi
a)
Pengetahuan seharusnya ditemukan sebagai
keseluruhan terpadu
Pengetahuan seharusnya tidak
dipisahkan ke dalam subjek-subjek yang berbeda (kompartementalisasi), tetapi
seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu.
Hal ini juga menggarisbawahi
pentingnya konteks bagaimana pembelajaran dilangsungkan.para tokoh tersebut,
pengetahuan seharusnya tidak dikompartementalisasi secara kaku ke dalam subjek
atau kategori berbeda namun seharusnya disajikan dan ditemukan sebagai
keseluruhan yang terpadu. Alasannya adalah bahwa dunia, tempat yang dibutuhkan
oleh pembelajar untuk melakukan kegiatan, tidak bisa didekati dengan bentuk
subjek terpisah, melainkan berupa suatu kompleksitas tak terhingga dari fakta,
problem, dimensi dan persepsi.
b)
Keasyikan dan tantangan bagi pembelajar
Pembelajar seharusnya secara
konstan diberi tantangan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan
keterampilan dan pengetahuan sedikit di atas tingkat ketuntasannya pada saat
itu. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan membangun lagi keberhasilan
sebagaimana yang telah diraih sebelumnya dalam rangka mempertahankan
kepercayaan diri pembelajar. Hal ini juga sejalan dengan zone of proximal
developmentnya Vygotsky yang dapat dideskripsikan sebagai jarak antara
perkembangan tingkat perkembangan aktual (yang ditentukan melalui pemecahan
masalah secara independen) dan tingkatan perkembangan potensial (yang
ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
melalui kolaborasi dengan peers yang lebih berpengalaman).
Vygotsky lebih jauh
mempublikasikan secara luas bahwa suatu pembelajaran dianggap baik ketika
pembelajaran tersebut melampaui perkembangan. Kemudian pembelajaran tersebut
membangunkan dan membangkitkan keseluruhan perangkat fungsi yang berada di
tingkat kematangan untuk hidup di kehidupan nyata, yang terletak di zona
perkembangan proksimal. Dengan cara inilah pembelajaran memainkan peranan yang
maha penting dalam perlembangan.
Dalam rangka untuk sepenuhnya
memberikan keasyikan dan tantangan bagi pembelajar, tugas dan lingkungan
pembelajaran seharusnya merefleksikan kompleksitas lingkungan sehingga
pembelajar seharusnya memiliki fungsi di akhir pembelajaran. Pembelajar
seharusnya tidak hanya mendapatkan proses pembelajaran ataupun proses pemecahan
masalah, namun juga masalah itu sendiri.
Ketika mempertimbangakan
tata urutan materi, sudut pandang konstruktivis berpendirian bahwa dasar dari
berbagai subjek dapat dibelajarkan pada siapa pun pada tingkatan mana pun dalam
banyak bentuk. Hal ini berarti bahwa guru seharusnya pertama sekali
memperkenalkan gagasan dasar sehingga menghidupkan dan membentuk banyak topik
ataupun area subjek, baru kemudian kembali lagi pada subjek semula dan
membangun kembali gagasan tersebut. Prinsip seperti ini secara ekstensif
digunakan dalam kurikulum.
Juga penting bagi guru untuk
relistis, karena meskipun suatu kurikulum kemungkinan dirancang untuk mereka,
tak terhidarkan lagi untuk dibentuk ulang oleh mereka menjadi lebih personal
yang merefleksikan sistem kepercayaan mereka sendiri, pemikiran dan perasaan
mereka terhadap isi pembelajaran maupun pembelajarnya. Dengan demikian,
pengalaman belajar menjadi suatu kegiatan yang harus dilakukan bersama. Dengan
demikian, emosi dan konteks kehidupan dari yang terlibat dalam kegiatan
pembelajaran harus dianggap sebagai bagian integral dari pembelajaran. Tujuan
dari pembelajar menjadi fokus dalam mempertimbangkan tentang apa yang dipelajari.
c)
Penstrukturan proses belajar
Adalah penting untuk
mendapatkan keseimbangan yang benar antara tingkatan struktur dan fleksibilitas
yang dibangun dalam proses pembelajaran. Savery menyatakan bahwa semakin lebih
terstruktur lingkungan pembelajaran, semakin sulit bagi pembelajar dalam
mengkonstruksi arti berdasarkan pemahaman konseptual mereka sendiri. Seorang
guru seharusnya menyusun struktur pengalaman belajar sekedar cukup untuk
membuat yakin bahwa siswa mendapat arahan yang jelas dan parameter untuk
mencapai tujuan pembelajaran, namun pengalaman belajar seharusnya terbuka dan
memberikan peluang yang cukup bagi pembelajar untuk menemukan, menikmati,
berinteraksi dan sampai pada kebenarannya sendiri yang telah diverifikasi oleh
masyarakat.
d) Catatan akhir
Intervensi konstruktivisme
dalam pembelajaran dengan demikian merupakan intervensi di mana kegiatan
kontekstual (tugas-tugas) digunakan untuk menyediakan pembelajar peluang untuk
menemukan dan secara kolabortif mengkonstruksi arti sebagaimana yang diungkap
dalam intervensi. Pembelajar dihormati sebagai individual yang unik, dan guru
lebih cenderung berperan sebagai fasilitator daripada instruktur.
4.
Paedagogi berdasarkan konstruktivisme
Kenyataannya, banyak pedagogi
yang bergerak di sekitar teori konstruktivisme. Kebanyakan pendekatan yang
berkembang dari konstruktivisme menyarankan bahwa belajar yang
sempurna menggunakan pendekatan hands-on (keterlibatan
personal). Pembelajar belajar melalui eksperimentasi, dan tidak melalui cara
pemberitahuan apa yang akan terjadi. Mereka dibiarkan memiliki pendapat
sendiri, penemuan, dan kesimpulan. Konstruktivisme juga menekankan bahwa
pembelajaran bukanlah suatu proses "seluruhnya atau tidak sama
sekali" melainkan bahwa siswa belajar informasi baru yang disajikan untuk
mereka dengan membangun pengetahuan yang telah mereka miliki. Karenanya menjadi
penting guru secara konstan mengases pengetahuan yang telah dicapai siswanya
untuk meyakinkan bahwa persepsi siswa terhadap pengetahuan baru sama dengan apa
yang dimaksudkan guru. Guru akan menemukan bahwa karena siswa membangun
pengetahuan yang telah dimiliki, ketika diminta untuk memahami informasi
baru, mereka tidak membuat kesalahan. Bisa disebut terjadi
kesalahan rekonstruksi apabila kita mengisi kesenjangan antara pemahaman
kita dengan pemikiran yang logis namun tidak benar. Guru harus mampu
mengidentifikasi dan mencoba membetulkan kesalahan tersebut, meskipun tak pelak
lagi bahwa beberapa kesalahan rekonstruksi akan terus terjadi karena faktor
bawaan berupa keterbatasan pemahan kita.
Pada kebanyakan pedagogi yang
berdasarkan konstruktivisme, peran guru bukan hanya mengamati dan mengases
namun juga terlibat dalam kegiatan siswa sementara ia juga harus menyelesaikan
kegiatannya sendiri, meneriakkan keheranan dan mengajukan pertanyaan kepada
siswa untuk menggalakkan cara berpikir logis. (contoh: Saya heran mengapa air
tidak meluap keluar melalui bibir gelas yang penuh?) Guru juga melakukan
intervensi ketika muncul konflik; namun mereka secara sederhana memfasilitasi
resolusi di antara siswa dan regulasi diri, dengan suatu penekanan pada
siswa untuk harus mampu menemukan jalan keluarnya sendiri.
Sebagai contoh, promosi
literasi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kebutuhan untuk membaca dan menulis
selama aktivitas individual dalam kelas yang penuh tulisan kreatif. Seorang
guru, setelah membaca suatu cerita, membangkitkan keberanian siswa untuk
menulis dan menulis ceritanya sendiri, atau meminta siswa untuk melakonkan
ulang suatu cerita yang telah mereka kenal dengan baik, kedua kegiatan tersebut
membangkitkan keberanian siswa untuk membayangkan diri mereka sendiri sebagai
pembaca ataupun penulis.
Beberapa pendekatan khusus
dalam dunia pendidikan yang didasarkan atas konstruktivisme:
Konstruktionisme: Merupakan
suatu pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh Seymour Papert dan
koleganya di MIT di Cambridge, Massachusetts. Papert pernah bekerjasama dengan
Piaget institut tersebut di Jenewa. Papert belakangan menyebut pendekatannya
"constructionism." Pendekatan ini menckup segala sesuatu yang
berhubungan dengan konstruktivismenya Piaget, namun bergerak lebih jauh lagi
dengan menyertakan bahwa pembelajaran konstruktivisme terjadi dengan baik
khususnya ketika siswa mengkonstruksi suatu produk, sesuatu yang eksternal bagi
mereka seperti benteng pasir, mesin, program komputer, atau buku. Promotor
penggunaan komputer dalam pendidikan memandang suatu kebutuhan yang semakin
meningkat untukmengembangkan keterampilan dalam literasi Multimedia dalam rangka
mengguanakan peralatan ini dalam pembelajaran konstruktivisme.
Pendekatan lainnya: Reciprocal
Learning, Procedural Facilitations for Writing, Cognitive Tutors, Cognitively
Guided Instruction (suatu program pengembangan profesi dan riset dalam matematika
untuk SD yang diciptakan oleh Thomas P. Carpenter, Elizabeth Fennema, dan
koleganya di University of Wisconsin-Madison. Premis mayornya adalah guru
dapat menggunakan strategi informal siswa (dengan kata lain strategi yang
dikontruksi oleh siswa berdasarkan pemahamannya pada situasi
kehiduopan sehari-hari, seperti memungut batu kecil dan memetik bunga) sebagai
basis utama untuk mengajar matematika di jenjang SD); Anchored Instruction
(Bransford et al), Problem dan pendekatan pemecahan solusinya ditanamkan dalam
lingkungan naratif), Cognitive Apprenticeship (Collins et al), pembelajaran
diperoleh melalui pengintegrasian ke dalam budaya pengetahuan khusus yang
implisit dan eksplisit); Cognitive Flexibility (Sprio et al) dan Pragmatic
Constructivism.
F. TEORI BELAJAR SOSIAL
Dalam dasawarsa terakhir,
penganut teori konstruktivisme memperluas fokus tradisionalnya pada
pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan sosial..
Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari
karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vygotsky. Istilah Konstruktivisme
komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001. Dalam model ini,
"siswa tidak hanya mengikuti pembelajaran seperti halnya air
mengalir melalui saringan namun membiarkan mereka membentuk dirinya."
Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari para pakar
pendidikan.
Pijakan awal teori
belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui pengamatannya
terhadap perilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset teori
belajar sosial adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner.
Meskipun classical dan operant
conditioning dalam hal-hal tertentu masih merupakan tipe penting dari belajar,
namun orang belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui
observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan berbeda dari classical dan
operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal langsung
dengan stimuli, penguatan kembali, maupun hukuman. Belajar melalui
pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang
disebut model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.
Baik anak-anak maupun orang
dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi (peniruan) ini. Anak muda
belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan, ketakutan, dan banyak perilaku
lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang lebih dewasa. Banyak orang
belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan mengamati dan kemudian
menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat kelahiran Kanada Albert
Bandura, pelopor dalam studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar
ini memainkan peran yang penting dalam perkembangan kepribadian anak. Bandura
menemukan bukti bahwa belajar sifat-sifat seperti
keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan, dan ketidak sabaran
sebagian dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-temannya.
Psikolog pada suatu saat
pernah berpikir bahwa hanya manusia yang dapat belajar melalui
pengamatan. Mereka sekarang memahami bahwa banyak jenis
binatang— termasuk burung, kucing, anjing, binatang pengerat, dan primate dapat
belajar melalui pengamatan terhadap anggota lain dari spesies yang sama.
Binatang yang kecil dapat belajar tentang sesuatu yang bisa dimakan, ketakutan,
dan keterampilan untuk bertahan hidup melalui pengamatannya terhadap induknya
atau bapaknya. Hewan yang sudah dewasa dapat belajar
perilaku baru atau solusi dari masalah sederhana melalui
pengamatannya terhadap hewan lain
1.
Eksperimen Bandura
Di awal tahun 1960-an Bandura
dan peneliti lain melakukan seperangkat eksperimen klasik yang
mendemonstrasikan kekuatan dari belajar melalui pengamatan. Dalam salah satu
percobaannya, seorang anak prasekolah sedang mengerjakan tugas melukis
sementara di depannya sebuah pesawat televisi menayangkan film tentang
seorang dewasa dengan agresif sedang mendekati boneka bobo (boneka berupa badut
yang dapat tegak setelah dipukul roboh). Orang tersebut memukuli bobo
bertubi-tubi dengan semacam palu, menendangnya, melemparkannya ke udara,
mendudukinya, menggigitnya di bagian wajahnya, sambil meneriakkan kata-kata
seperti 'tonjok hidungnya ayo tendang des!' Anak tersebut kemudian beranjak ke
ruangan lain yang penuh boneka termasuk bobo. Eksperimenter mengamati anak
tersebut melalui kaca satu arah. Dibandingkan anak-anak yang menyaksikan model
orang dewasa yang tidak agresif dan yang sama sekali tidak melihat tayangan,
anak-anak yang melihat tayangan perilaku agresif tersebut menunjukkan perilaku
yang jauh lebih agresif terhadap boneka bobo, dan mereka seringkali menirukan
secara persis perilaku model dan kata-kata permusuhannya.
Di dalam varian eksperimen
orisinilnya, Bandura dan koleganya meneliti penerapan efek lanjutan dari
pengamatan pada kegiatan belajar. Mereka memperlihatkan pada anak-anak berusia
empat tahun secara terpisah masing-masing satu dari tiga film tentang perilaku
‘kejam’ seorang dewasa terhadap boneka bobo tersebut. Dalam salah satu versi
film, orang dewasa tersebut diberi penghargaan karena perilaku yang agresif
berupa minuman dan permen. Di versi lain, orang dewasa tersebut balik dipukul,
dijitak, dan diperingatkan agar tidak melakukan hal itu lagi. Di versi ketiga,
orang dewasa tersebut tidak diberi hadiah maupun hukuman. Setelah menyaksikan
film, setiap anak ditinggalkan sendirian di dalam ruangan yang berisi
boneka bobo dan mainan lain. Banyak anak meniru perilaku kejam dari orang
dewasa tersebut, namun anak-anak yang menyaksikan orang dewasa modelnya dihukum
setelah menyiksa bobo lebih jarang yang menirukan. Namun, ketika peneliti
menjanjikan hadiah kepada semua anak untuk menirukan, ketiga kelompok
memperlihatkan kuantitas perilaku yang sama terhadap boneka bobo.
Bandura menyimpulkan bahwa
meskipun anak-anak tidak melihat orang dewasa di dalam tayangan tidak mendapat
hadiah telah belajar melalui pengamatan, namun anakanak ini (khususnya yang
melihat modelnya dihukum) tidak melakukan apa yang mereka pelajari sampai
mereka bisa berharap mendapatkan hadiah bila melakukannya. Istilah belajar
latent (latent learning) digunakan dalam kasus di mana individu belajar
perilaku yang baru namun tidak melakukan perilaku tersebut sampai ia melihat
kemungkinan untuk mendapatkan hadiah.
2.
Teori Imitasi Bandura
Menurut teori imitasi Bandura
yang sangat berpengaruh, yang juga disebut teori belajar sosial, empat faktor
dibutuhkan oleh seseorang untuk belajar melalui pengamatan dan kemudian
menirunya: attention (memperhatikan), retention (mengingat), reproduction
(mereproduksi), dan motivation (dorongan). Pertama, pembelajar harus menaruh
perhatian pada detail-detail yang penting dari perilaku model. Seorang wanita
muda, melihat ayahnya memanggang roti tidak akan
berhasil menirukan perilaku ayahnya tersebut bila tidak menaruh
perhatian pada beberapa detail penting-bumbu, kuantitas, temperatur oven,
durasi waktu memanggang, dan sebagainya. Faktor kedua adalah
retention-pembelajar harus dapat mengingat atau menyimpan semua informasi dalam
memorinya sampai informasi itu berguna kelak. Jika seseorang lupa beberapa
detail penting, ia akan tidak dapat berhasil meniru suatu perilaku. Ketiga,
pembelajar harus memiliki keterampilan dan koordinasi fisik yang dibutuhkan
dalam reproduction mereproduksi perilaku tersebut. Wanita muda tersebut harus
memiliki kekuatan dan kecekatan untuk mencampur bumbu, menuangkan mentega, dan
sebagainya, dalam rangka memanggang roti sendiri.
Akhirnya, pembelajar harus memiliki motivasi (dorongan) untuk
menirukan model. Dalam hal ini, pembelajar memiliki kecenderungan untuk
menirukan suatu perilaku jika mereka mengharapkan perilaku tersebut mengarah
pada suatu tipe hadiah atau penguatan. Jika pembelajar memandang bahwa
menirukan perilaku tidak akan mengarah pada hadiah atau justru mengarah ke
hukuman, mereka cenderung tidak menirukan perilaku tersebut.
3.
Teori Generalisasi Imitasi
Suatu alternatif dari teori Bandura
adalah teori generalisasi imitasi. Teori ini menyatakan bahwa orang
akan meniru perilaku orang lain jika situasinya sama dengan ketika peristiwa
yang ditirunya diperkuat di masa lalu. Sebagai contoh, ketika seorang anak muda
meniru perilaku orang tuanya atau saudara tuanya, imitasi ini sering diperkuat
dengan senyuman, pujian, atau bentuk-bentuk persetujuan lain. Demikian juga,
ketika anak-anak menirukan perilaku teman-temannya, bintang
olah raga, atau selebritis, peniruan ini akan diperkuat-dengan
persetujuan teman sebayanya, jika tidak orang tuanya. Melalui proses
generalisasi, anak tersebut akan memulai meniru model-model tersebut pada
kesempatan yang lain. Bila teori Bandura menekankan proses berpikir dan
motivasi peniru, teori generalisasi imitasi berpijak pada dua prinsip dasar
dari operant conditioning penguatan dan generalisasi.
4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi imitasi
Banyak faktor yang
mempengaruhi apakah seseorang akan meniru suatu model atau tidak. Seperti telah
ditunjukkan sebelumnya, anak-anak lebih cenderung meniru model apabila perilaku
model telah mendapatkan penguatan dibandingkan dengan hukuman. Namun yang
lebih penting adalah konsekuensi yang diharapkan dari pembelajar.
Seseorang akan meniru perilaku yang mendapat hukuman apabila ia berpikir bahwa
imitasi tersebut akan akan menghasilkan beberapa tipe penguatan yang lain.
Karakteristik model juga
mempengaruhi karakteristik imitasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak-anak
lebih cenderung meniru orang dewasa yang lebih mampu membuat ia senang dan
lebih menarik perhatiannya dibandingkan dengan orang lain. Juga, anak-anak
lebih sering meniru orang dewasa yang memiliki pengaruh penting dalam hidupnya
seperti orangtuanya atau gurunya, dan orang-orang yang sukses atau dikaguminya
seperti atlet atau selebriti. Baik orang dewasa maupun anak-anak lebih
cenderung meniru model yang memiliki kemiripan usia, jenis kelamin, dan latar
belakang. Karena alasan inilah, ketika terapis perilaku menggunakan model untuk
mengajar perilaku atau keterampilan baru, mereka mencoba menggunakan model yang
sama dengan pembelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar